Jakarta
Secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang
kelilingi oleh dua benua dan dua samudera. Dengan 18.110 pulau, 33
Provinsi, lebih dari 650 suku bangsa, 67 bahasa induk dan lebih dari 200
juta penduduknya, serta begitu besar sumber kekayaan dan panorama
alamnya, hingga menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang begitu
"seksi".
Kekayaan akan keberagaman kearifan lokal dan budaya
terkandung di dalam bingkai raksasa kehidupan sosialnya. Setiap
masyarakatnya menciptakan karya. Baik berupa: sandang, pangan, papan
maupun kerajinan tangan. Karenanya menjadi pantas jika Indonesia menjadi
medan magnet bagi negara-negara di dunia belahan manapun.
Dasar dan Rekomendasi
Dengan
potensi seperti ini, masyarakat Indonesia juga sangat melekat dan tidak
terlepas dari pemanfaatan dan pengelolaan buminya. Baik di bidang
pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, dan hasil tambangnya
sebagai bentuk penyelenggaraan roda kehidupan sosialnya.
Karena
itu, betapa pun setiap kepemimpinan di negeri ini memiliki ambisinya
masing-masing, dalam menyelenggarakan pembangunan—setidaknya
penyelenggaraan kehidupan sosial seperti inilah yang selayaknya menjadi
dasar dan rekomendasi mereka dalam memimpin. Karena dengan begitu,
Indonesia tidak akan pernah kehilangan ruh dan nafas kehidupannya.
Tentu
saja hal itu juga harus diimbangi dengan sentuhan teknologi modern dan
perkembangan jaman. Agar negeri ini mampu memainkan peran dalam
percaturan global.
Pertanyaannya, fenomena perubahan apakah yang terjadi pada Indonesia saat ini?
Rias Wajah Yang Memudar
Cobalah
Anda pejamkan mata sekarang. Lalu bawalah imajinasi pikiran Anda hingga
membentuk Indonesia pada sebuah masa, dimana pejajah Belanda dan Jepang
lengkap dengan segala atribut-atributnya tengah menjajah negeri ini.
Apa
yang terjadi? Marah, benci, atau terusik rasa nasionalisme kita untuk
melakukan perlawan. Terpanggil rasa patriotik kita untuk memperjuangkan
dan mempertahanan segala potensi dan keberagaman budaya, adat istiadat
dan kekayaan bumi kita, tentunya.
Hal seperti itu sangatlah
wajar. Sebab betapun susah dan menderitanya kita, alam kemerdekaan untuk
menentukan nasib sendiri adalah mimpi yang lebih menjanjikan harapan
"Pancasila" dibanding penjajahan.
Tetapi kini cobalah buka mata
Anda kembali. Lalu lihat dan perhatikanlah baik-baik di sekeliling kita.
Apa yang terjadi? Segala macam atribut asing malah semakin menggila
menguasahi setiap sendi-sendi kehidupan sosial bangsa Indonesia.
Bukankah "Rias Wajah" Indonesia tengah memudar di alamnya?
Tentunya
kita bersepakat, bahwa saat ini, segala budaya dan adat istiadat, baik
cara berpakaian, jenis makanan dan minuman, serta segala keberagaman
tatanan kehidupan sosial masyarakat lainya, di seluruh daerah di
nusantara—juga merupakan bagian dari wajah Indonesia. Dan pada realitas
sekarang semuanya tengah tertatih-tatih mempertahankan identitasnya.
Bukan
hanya Amerika yang seringkali di suarakan dominasinya oleh para
demonstran—sejak berdirinya Republik Indonesia hingga saat ini.
Melainkan seluruh negara-negara di dunia, tengah berlomba-lomba
menancapkan panji-panji atributnya—untuk berbagai macam kepentingannya
di negeri kita.
Baik itu mengatasnamakan kepentingan sosial,
budaya, kemanusian, hukum, politik, dan sudah barang tentu ekonomi atau
lain sebagainya. Karenanya menjadi wajar ketika identitas dan pola
kehidupan sosial kita sebagai sebuah bangsa menjadi terdegradasi oleh
berbagaimacam spektrum budaya asing tersebut.
Realitas Wajar dan Ironi
Perihal
seperti itu adalah sebuah realitas yang wajar di era globalisasi.
Dimana manusia kian kekinian tidaklah dibatasi oleh skat-skat kehidupan
sosialnya. Warna kulit, agama, budaya, wilayah, dan lain sebagainya.
Gobalisasi—dimana
segala ketergantungan kebutuhan manusia—disejagatkan dan "dihalalkan"
serta tidak termasuk dalam katagori penjajahan. Selama segalanya, tidak
melanggar apa yang sudah menjadi kesepakatan global, maka semuanya sah
beredar di negara manapun termasuk di Indonesia.
Semua itu bukan
tanpa dampak buruk. Terlebih lagi teknologi seperti: televisi, internet,
radio dan surat kabar menjembatinya dengan mudah. Sebagai sebuah bangsa
yang memiliki potensi yang begitu luar biasa kekayaannya, maka sudah
selayaknya Indonesia mewarnai trend global pada kehidupan di dunia saat
ini dan akan datang.
Menjadi ironis, ketika realitas hari ini
justru terjadi sebaliknya. Kita tidak mampu memanfaatkan peluang itu.
Kita malah Asik ”dininabobokan” arus globalisasi yang kian menggila.
Kita terus terombang-ambing di lautan trend-trend global, tanpa sanggup
dan sempat menawarkan spektrum identitas kita sendiri.
Generasi
kita terlalu sibuk membanggakan dan mengikuti mode artis ala Korea,
Jepang, Amerika, Saudi dan lain sebagainya. Padahal dengan potensi yang
kita memiliki adalah peluang yang begitu besar untuk merasuki kehidupan
dunia. Dan itu lebih dari negara-negara manapun di dunia.
Lantas mampukah kita berjuang untuk itu? Dan tidak sekedar menjadikan kita sebagai masyarakat konsumtif?
Dan
mampukah kita sebagai sebuah bangsa yang besar dan kaya akan
keberagaman budaya, adat istiadat dan sumber alamnya, membangun kembali
rias wajah bangsa kita di negara kita sendiri atau bahkan dunia?
Jawabannya
ada pada diri kita masing-masing. Sejauhmana kita, bangsa Indonesia,
mampu memberikan nafas kehidupannya sendiri di segala potensi—menjadi
bergelora kembali di negeri sendiri. Sehingga Ke-Indonesiaan kita mampu
memberikan sentuhan pada wajah dunia. Sekarang dan yang akan datang.
Atau hilang sama sekali terbawa derasnya arus globalisasi.
Dan bukan BUDAYA KORUPSI, tentunya!
SEMANGAT PAGI TERUS INDONESIAKU,
Bangkitkan Kembali Rias Wajahmu Yang Memudar!
*detikNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar